Trowulan - Bekas ibu kota Kerajaan Majapahit | |
Bajang Ratu, gapura anggun bergaya Paduraksa di Trowulan, Mojokerto |
|
Informasi bangunan | |
---|---|
Lokasi | dekat Mojokerto, Jawa Timur |
Negara | Indonesia |
Koordinat | 7°28′48″LS 112°22′12″BTKoordinat: 7°28′48″LS 112°22′12″BT |
Klien | Majapahit |
Penyelesaian | circa abad ke-14 - 15 |
Jenis | candi, kompleks pemukiman |
Kitab Negarakertagama menyebutkan deskripsi puitis mengenai keraton Majapahit dan lingkungan sekitarnya, tetapi penjelasannya hanya terbatas pada perihal upacara kerajaan dan keagamaan. Detil keterangannya tidak jelas, beberapa ahli arkeologi yang berusaha memetakan ibu kota kerajaan ini muncul dengan hasil yang berbeda-beda.
Penelitian dan penggalian di Trowulan pada masa lampau dipusatkan pada peninggalan monumental berupa candi, makam, dan petirtaan (pemandian). Belakangan ini penggalian arkeologi telah menemukan beberapa peninggalan aktivitas industri, perdagangan, dan keagamaan, serta kawasan permukiman dan sistem pasokan air bersih. Semuanya ini merupakan bukti bahwa daerah ini merupakan kawasan permukiman padat pada abad ke-14 dan ke-15.
Trowulan telah dicalonkan untuk menjadi Situs Warisan Dunia UNESCO sejak tahun 2009.
Menurut Prapanca dalam kitab Negarakertagama; keraton Majapahit dikelilingi tembok bata merah yang tinggi dan tebal. Di dekatnya terdapat pos tempat para punggawa berjaga. Gerbang utama menuju keraton (kompleks istana) terletak di sisi utara tembok, berupa gapura agung dengan pintu besar terbuat dari besi berukir. Di depan gapura utara terdapat bangunan panjang tempat rapat tahunan para pejabat negara, sebuah pasar, serta sebuah persimpangan jalan yang disucikan.
Masuk ke dalam kompleks melalui gapura utara terdapat lapangan yang dikelilingi bangunan suci keagamaan. Pada sisi barat lapangan ini terdapat pendopo yang dikelilingi kanal dan kolam tempat orang mandi. Pada ujung selatan lapangan ini terdapat jajaran rumah yang dibangun diatas teras-teras berundak, rumah-rumah ini adalah tempat tinggal para abdi dalem keraton. Sebuah gerbang lain menuju ke lapangan ketiga yang dipenuhi bangunan dan balairung agung. Bangunan ini adalah ruang tunggu bagi para tamu yang akan menghadap raja.
Kompleks istana tempat tinggal raja terletak di sisi timur lapangan ini, berupa beberapa paviliun atau pendopo yang dibangun di atas landasan bata berukir, dengan tiang kayu besar yang diukir sangat halus dan atap yang dihiasi ornamen dari tanah liat. Di luar istana terdapat kompleks tempat tinggal pendeta Shiwa, bhiksu Buddha, anggota keluarga kerajaan, serta pejabat dan ningrat (bangsawan). Lebih jauh lagi ke luar, dipisahkan oleh lapangan yang luas, terdapat banyak kompleks bangunan kerajaan lainnya, termasuk salah satunya kediaman Mahapatih Gajah Mada. Sampai disini penggambaran Prapanca mengenai ibu kota Majapahit berakhir.
Sebuah catatan dari China abad ke-15 menggambarkan istana Majapahit sangat bersih dan terawat dengan baik. Disebutkan bahwa istana dikelilingi tembok bata merah setinggi lebih dari 10 meter serta gapura ganda. Bangunan yang ada dalam kompleks istana memiliki tiang kayu yang besar setinggi 10-13 meter, dengan lantai kayu yang dilapisi tikar halus tempat orang duduk. Atap bangunan istana terbuat dari kepingan kayu (sirap), sedangkan atap untuk rumah rakyat kebanyakan terbuat dari ijuk atau jerami.
Sebuah kitab tentang etiket dan tata cara istana Majapahit menggambarkan ibu kota sebagai: "Sebuah tempat disitu kita tidak usah berjalan melalui sawah". Relief candi dari zaman Majapahit tidak menggambarkan suasana perkotaan, akan tetapi menggambarkan kawasan permukiman yang dikelilingi tembok. Istilah 'kuwu' dalam Negarakertagama dimaksudkan sebagai unit permukiman yang dikelilingi tembok, tempat penduduk tinggal dan dipimpin oleh seorang bangsawan. Pola permukiman seperti ini merupakan ciri kota pesisir Jawa abad ke-16 menurut keterangan para penjelajah Eropa. Diperkirakan ibu kota Majapahit tersusun atas kumpulan banyak unit permukiman seperti ini.
PENEMUAN
Reruntuhan kota kuno di Trowulan ditemukan pada abad ke-19. Dalam laporan Sir Thomas Stamford Raffles yang menjabat sebagai gubernur Jawa dari 1811 sampai 1816, disebutkan bahwa: "Terdapat reruntuhan candi.... tersebar bermil-mil jauhnya di kawasan ini." Saat itu kawasan ini merupakan hutan jati yang lebat sehingga survei dan penelitian yang lebih rinci tidak mungkin dilaksanakan. Meskipun demikian, Raffles, yang sangat berminat pada sejarah dan kebudayaan Jawa, terpesona dengan apa yang dilihatnya dan menjuluki Trowulan sebagai 'Kebanggaan Pulau Jawa'.
Situs Arkeologi
Penggalian di sekitar Trowulan menunjukkan sebagian dari permukiman kuno yang masih terkubur lumpur sungai dan endapan vulkanik beberapa meter di bawah tanah akibat meluapnya Kali Brantas dan aktivitas Gunung Kelud. Beberapa situs arkeologi tersebar di wilayah Kecamatan Trowulan. Beberapa situs tersebut dalam keadaan rusak, sedangkan beberapa situs lainnya telah dipugar. Kebanyakan bangunan kuno ini terbuat dari bahan bata merah.
Candi Tikus
Candi Tikus adalah kolam pemandian ritual (petirtaan). Kolam ini mungkin menjadi temuan arkeologi paling menarik di Trowulan. Nama 'Candi Tikus' diberikan karena pada saat ditemukan tahun 1914, situs ini menjadi sarang tikus. Dipugar menjadi kondisi sekarang ini pada tahun 1985 dan 1989, kompleks pemandian yang terbuat dari bata merah ini berbentuk cekungan wadah berbentuk bujur sangkar. Di sisi utara terdapat sebuah tangga menuju dasar kolam. Struktur utama yang menonjol dari dinding selatan diperkirakan mengambil bentuk gunung legendaris Mahameru. Bangunan yang tidak lagi lengkap ini berbentuk teras-teras persegi yang dimahkotai menara-menara yang ditata dalam susunan yang konsentris yang menjadi titik tertinggi bangunan
Gapura Bajang Ratu
Tidak jauh dari Candi Tikus, di desa Temon berdiri gapura Bajang Ratu, sebuah gapura paduraksa anggun dari bahan bata merah yang diperkirakan dibangun pada pertengahan abad ke-14 M. Bentuk bangunan ini ramping menjulang setinggi 16,5 meter yang bagian atapnya menampilkan ukiran hiasan yang rumit. Bajang ratu dalam bahasa Jawa berarti 'raja (bangsawan) yang kerdil atau cacat.' Tradisi masyarakat sekitar mengkaitkan keberadaan gapura ini dengan Raja Jayanegara, raja kedua Majapahit. Berdasarkan legenda ketika kecil Raja Jayanegara terjatuh di gapura ini dan mengakibatkan cacat pada tubuhnya. Nama ini mungkin juga berarti "Raja Cilik" karena Jayanegara naik takhta pada usia yang sangat muda. Sejarahwan mengkaitkan gapura ini dengan Çrenggapura (Çri Ranggapura) atau Kapopongan di Antawulan (Trowulan), sebuah tempat suci yang disebutkan dalam Negarakertagama sebagai pedharmaan (tempat suci) yang dipersembahkan untuk arwah Jayanegara yang wafat pada 1328.
Gapura Wringin Lawang
Wringin Lawang terletak tak jauh ke selatan dari jalan utama di Jatipasar. Dalam bahasa Jawa, "Wringin Lawang" berarti "Pintu Beringin". Gapura agung ini terbuat dari bahan bata merah dengan luas dasar 13 x 11 meter dan tinggi 15,5 meter. Diperkirakan dibangun pada abad ke-14. Gerbang ini lazim disebut bergaya 'candi bentar' atau tipe gerbang terbelah. Gaya arsitektur seperti ini mungkin muncul pada era Majapahit dan kini banyak ditemukan dalam arsitektur Bali. Kebanyakan sejarahwan sepakat bahwa gapura ini adalah pintu masuk menuju kompleks bangunan penting di ibu kota Majapahit. Dugaan mengenai fungsi asli bangunan ini mengundang banyak spekulasi, salah satu yang paling populer adalah gerbang ini diduga menjadi pintu masuk ke kediaman Mahapatih Gajah Mada.
Candi Brahu
Di desa Bejijong terdapat Candi Brahu. Candi ini merupakan satu-satunya bangunan suci tersisa yang masih cukup utuh dari kelompok bangunan-bangunan suci yang pernah berdiri di kawasan ini. Menurut kepercayaan masyarakat setempat, di candi inilah tempat diselenggarakan upacara kremasi (pembakaran jenazah) empat raja pertama Majapahit. Meskipun dugaan ini sulit dibuktikan, namun bukti fisik menunjukkan bangunan ini merupakan bangunan suci peribadatan yang diduga adalah bangunan suci untuk memuliakan anggota keluarga kerajaan yang telah wafat. Mengenai siapakah tokoh atau raja Majapahit yang dimuliakan di candi ini masih belum jelas. Di dekat Candi Brahu terdapat reruntuhan Candi Gentong
Makam Putri Cempa adalah sebuah makam bercorak Islam yang dipercaya masyarakat setempat merupakan makam salah satu istri atau selir raja Majapahit yang berasal dari Champa. Menurut tradisi lokal, Putri Cempa (Champa) yang wafat tahun 1448 adalah seorang muslimah yang menikahi salah seorang raja Majapahit terakhir yang akhirnya berhasil dibujuknya untuk masuk Islam. [1]
Kolam Segaran
Kolam Segaran adalah kolam besar berbentuk persegi panjang dengan ukuran 800 x 500 meter persegi. Nama 'Segaran' berasal dari bahasa Jawa segara yang berarti 'laut', mungkin masyarakat setempat mengibaratkan kolam besar ini sebagai miniatur laut. Tembok dan tanggul bata merah mengelilingi kolam yang sekaligus memberi bentuk pada kolam tersebut. Saat ditemukan oleh Henry Maclaine Pont pada tahun 1926, struktur tanggul dan tembok bata merah tertimbun tanah dan lumpur. Pemugaran dilakukan beberapa tahun kemudian dan kini kolam Segaran difungsikan oleh masyarakat setempat sebagai tempat rekreasi dan kolam pemancingan.
Fungsi asli kolam ini belum diketahui, akan tetapi penelitian menunjukkan bahwa kolam ini memiliki beberapa fungsi, antar lain sebagai kolam penampungan untuk memenuhi kebutuhan air bersih penduduk kota Majapahit yang padat, terutama pada saat musim kemarau. Dugaan populer lainnya adalah kolam ini digunakan sebagai tempat mandi dan kolam latihan renang prajurit Majapahit, di samping itu kolam ini diduga menjadi bagian taman hiburan tempat para bangsawan Majapahit menjamu para duta dan tamu kerajaan.
Candi Menak Jingga
Di sudut timur laut kolam Segaran terdapat reruntuhan Candi Menak Jingga. Bangunan ini kini hanya tersisa reruntuhannya berupa bebatuan yang terpencar dan fondasi dasar bangunan yang masih terkubur di dalam tanah. Pemugaran candi ini tengah berlangsung. Keunikan bangunan ini adalah bangunan ini terbuat dari batu andesit pada lapisan luarnya, sedangkan bagian dalamnya terbuat dari bata merah. Hal yang paling menarik dari bangunan ini adalah pada bagian atapnya terdapat ukiran makhluk ajaib yang diidentifikasi sebagai Qilin, makhluk ajaib dalam mitologi China. Temuan ini mengisyaratkan bahwa terdapat hubungan budaya yang cukup kuat antara Majapahit dengan Dinasti Ming di China. Tradisi setempat mengkaitkan reruntuhan ini dengan pendopo (paviliun) Ratu Kencana Wungu, ratu Majapahit dalam kisah Damarwulan dan Menak Jingga.
Situs Watu Umpak
Di Situs Watu Umpak, terdapat beberapa alas batu tempat mendirikan tiang kayu. Diperkirakan merupakan bagian dari bangunan kayu. Karena terbuat dari bahan organik, bangunan kayu telah musnah dan hanya menyisakan alas batu.
Makam Troloyo
Tidak ada komentar:
Posting Komentar