Trowulan - Bekas ibu kota Kerajaan Majapahit |
Bajang Ratu, gapura anggun bergaya Paduraksa di Trowulan, Mojokerto |
Lokasi dalam Java Topography
|
|
Situs Trowulan adalah satu kawasan di Kecamatan
Trowulan, Kabupaten
Mojokerto, Provinsi
Jawa Timur, tempat ditemukannya banyak peninggalan kuna. Diduga kuat, situs ini adalah salah satu bekas ibukota kerajaan
Majapahit.
Kitab
Negarakertagama
menyebutkan deskripsi puitis mengenai keraton Majapahit dan lingkungan
sekitarnya, tetapi penjelasannya hanya terbatas pada perihal upacara
kerajaan dan keagamaan. Detil keterangannya tidak jelas, beberapa ahli
arkeologi yang berusaha memetakan ibu kota kerajaan ini muncul dengan
hasil yang berbeda-beda.
Penelitian dan penggalian di Trowulan pada masa lampau dipusatkan
pada peninggalan monumental berupa candi, makam, dan petirtaan
(pemandian). Belakangan ini penggalian
arkeologi
telah menemukan beberapa peninggalan aktivitas industri, perdagangan,
dan keagamaan, serta kawasan permukiman dan sistem pasokan air bersih.
Semuanya ini merupakan bukti bahwa daerah ini merupakan kawasan
permukiman padat pada abad ke-14 dan ke-15.
Trowulan telah dicalonkan untuk menjadi
Situs Warisan Dunia UNESCO sejak tahun 2009.
Menurut
Prapanca
dalam kitab Negarakertagama; keraton Majapahit dikelilingi tembok bata
merah yang tinggi dan tebal. Di dekatnya terdapat pos tempat para
punggawa berjaga. Gerbang utama menuju keraton (kompleks istana)
terletak di sisi utara tembok, berupa gapura agung dengan pintu besar
terbuat dari besi berukir. Di depan gapura utara terdapat bangunan
panjang tempat rapat tahunan para pejabat negara, sebuah pasar, serta
sebuah persimpangan jalan yang disucikan.
Masuk ke dalam kompleks melalui gapura utara terdapat lapangan yang
dikelilingi bangunan suci keagamaan. Pada sisi barat lapangan ini
terdapat pendopo yang dikelilingi kanal dan kolam tempat orang mandi.
Pada ujung selatan lapangan ini terdapat jajaran rumah yang dibangun
diatas teras-teras berundak, rumah-rumah ini adalah tempat tinggal para
abdi dalem keraton. Sebuah gerbang lain menuju ke lapangan ketiga yang dipenuhi bangunan dan
balairung agung. Bangunan ini adalah ruang tunggu bagi para tamu yang akan menghadap raja.
Kompleks istana tempat tinggal raja terletak di sisi timur lapangan
ini, berupa beberapa paviliun atau pendopo yang dibangun di atas
landasan bata berukir, dengan tiang kayu besar yang diukir sangat halus
dan atap yang dihiasi ornamen dari tanah liat. Di luar istana terdapat
kompleks tempat tinggal pendeta
Shiwa, bhiksu
Buddha,
anggota keluarga kerajaan, serta pejabat dan ningrat (bangsawan). Lebih
jauh lagi ke luar, dipisahkan oleh lapangan yang luas, terdapat banyak
kompleks bangunan kerajaan lainnya, termasuk salah satunya kediaman
Mahapatih Gajah Mada. Sampai disini penggambaran Prapanca mengenai ibu
kota Majapahit berakhir.
Sebuah catatan dari China abad ke-15 menggambarkan istana Majapahit
sangat bersih dan terawat dengan baik. Disebutkan bahwa istana
dikelilingi tembok bata merah setinggi lebih dari 10 meter serta gapura
ganda. Bangunan yang ada dalam kompleks istana memiliki tiang kayu yang
besar setinggi 10-13 meter, dengan lantai kayu yang dilapisi tikar halus
tempat orang duduk. Atap bangunan istana terbuat dari kepingan kayu (
sirap), sedangkan atap untuk rumah rakyat kebanyakan terbuat dari
ijuk atau
jerami.
Sebuah kitab tentang etiket dan tata cara istana Majapahit
menggambarkan ibu kota sebagai: "Sebuah tempat disitu kita tidak usah
berjalan melalui sawah".
Relief candi
dari zaman Majapahit tidak menggambarkan suasana perkotaan, akan tetapi
menggambarkan kawasan permukiman yang dikelilingi tembok. Istilah
'kuwu' dalam Negarakertagama dimaksudkan sebagai unit permukiman yang
dikelilingi tembok, tempat penduduk tinggal dan dipimpin oleh seorang
bangsawan.
Pola permukiman seperti ini merupakan ciri kota pesisir Jawa abad ke-16
menurut keterangan para penjelajah Eropa. Diperkirakan ibu kota
Majapahit tersusun atas kumpulan banyak unit permukiman seperti ini.
PENEMUAN
Reruntuhan kota kuno di Trowulan ditemukan pada abad ke-19. Dalam laporan
Sir Thomas Stamford Raffles
yang menjabat sebagai gubernur Jawa dari 1811 sampai 1816, disebutkan
bahwa: "Terdapat reruntuhan candi.... tersebar bermil-mil jauhnya di
kawasan ini." Saat itu kawasan ini merupakan hutan jati yang lebat
sehingga survei dan penelitian yang lebih rinci tidak mungkin
dilaksanakan. Meskipun demikian, Raffles, yang sangat berminat pada
sejarah dan kebudayaan Jawa, terpesona dengan apa yang dilihatnya dan
menjuluki Trowulan sebagai 'Kebanggaan Pulau Jawa'.
Situs Arkeologi
Penggalian di sekitar Trowulan menunjukkan sebagian dari permukiman kuno yang masih terkubur lumpur sungai dan
endapan vulkanik beberapa meter di bawah tanah akibat meluapnya
Kali Brantas dan aktivitas
Gunung Kelud.
Beberapa situs arkeologi tersebar di wilayah Kecamatan Trowulan.
Beberapa situs tersebut dalam keadaan rusak, sedangkan beberapa situs
lainnya telah dipugar. Kebanyakan bangunan kuno ini terbuat dari bahan
bata merah.
Candi Tikus
Candi Tikus adalah kolam pemandian ritual (
petirtaan).
Kolam ini mungkin menjadi temuan arkeologi paling menarik di Trowulan.
Nama 'Candi Tikus' diberikan karena pada saat ditemukan tahun 1914,
situs ini menjadi sarang tikus. Dipugar menjadi kondisi sekarang ini
pada tahun 1985 dan 1989, kompleks pemandian yang terbuat dari bata
merah ini berbentuk cekungan wadah berbentuk bujur sangkar. Di sisi
utara terdapat sebuah tangga menuju dasar kolam. Struktur utama yang
menonjol dari dinding selatan diperkirakan mengambil bentuk gunung
legendaris
Mahameru.
Bangunan yang tidak lagi lengkap ini berbentuk teras-teras persegi yang
dimahkotai menara-menara yang ditata dalam susunan yang konsentris yang
menjadi titik tertinggi bangunan
Gapura Bajang Ratu
Tidak jauh dari Candi Tikus, di desa Temon berdiri gapura
Bajang Ratu, sebuah gapura
paduraksa
anggun dari bahan bata merah yang diperkirakan dibangun pada
pertengahan abad ke-14 M. Bentuk bangunan ini ramping menjulang setinggi
16,5 meter yang bagian atapnya menampilkan ukiran hiasan yang rumit.
Bajang ratu
dalam bahasa Jawa berarti 'raja (bangsawan) yang kerdil atau cacat.'
Tradisi masyarakat sekitar mengkaitkan keberadaan gapura ini dengan Raja
Jayanegara,
raja kedua Majapahit. Berdasarkan legenda ketika kecil Raja Jayanegara
terjatuh di gapura ini dan mengakibatkan cacat pada tubuhnya. Nama ini
mungkin juga berarti "Raja Cilik" karena Jayanegara naik takhta pada
usia yang sangat muda. Sejarahwan mengkaitkan gapura ini dengan
Çrenggapura (Çri Ranggapura) atau Kapopongan di Antawulan (Trowulan),
sebuah tempat suci yang disebutkan dalam
Negarakertagama sebagai
pedharmaan (tempat suci) yang dipersembahkan untuk arwah Jayanegara yang wafat pada
1328.
Gapura Wringin Lawang
Wringin Lawang terletak tak jauh ke selatan dari jalan utama di
Jatipasar.
Dalam bahasa Jawa, "Wringin Lawang" berarti "Pintu Beringin". Gapura
agung ini terbuat dari bahan bata merah dengan luas dasar 13 x 11 meter
dan tinggi 15,5 meter. Diperkirakan dibangun pada abad ke-14. Gerbang
ini lazim disebut bergaya '
candi bentar'
atau tipe gerbang terbelah. Gaya arsitektur seperti ini mungkin muncul
pada era Majapahit dan kini banyak ditemukan dalam arsitektur Bali.
Kebanyakan sejarahwan sepakat bahwa gapura ini adalah pintu masuk menuju
kompleks bangunan penting di ibu kota Majapahit. Dugaan mengenai fungsi
asli bangunan ini mengundang banyak spekulasi, salah satu yang paling
populer adalah gerbang ini diduga menjadi pintu masuk ke kediaman
Mahapatih
Gajah Mada.
Candi Brahu
Di desa
Bejijong terdapat
Candi Brahu.
Candi ini merupakan satu-satunya bangunan suci tersisa yang masih cukup
utuh dari kelompok bangunan-bangunan suci yang pernah berdiri di
kawasan ini. Menurut kepercayaan masyarakat setempat, di candi inilah
tempat diselenggarakan upacara kremasi (pembakaran jenazah) empat raja
pertama Majapahit. Meskipun dugaan ini sulit dibuktikan, namun bukti
fisik menunjukkan bangunan ini merupakan bangunan suci peribadatan yang
diduga adalah bangunan suci untuk memuliakan anggota keluarga kerajaan
yang telah wafat. Mengenai siapakah tokoh atau raja Majapahit yang
dimuliakan di candi ini masih belum jelas. Di dekat Candi Brahu terdapat
reruntuhan
Candi Gentong
Makam Putri Cempa
adalah sebuah makam bercorak Islam yang dipercaya masyarakat setempat
merupakan makam salah satu istri atau selir raja Majapahit yang berasal
dari
Champa.
Menurut tradisi lokal, Putri Cempa (Champa) yang wafat tahun 1448
adalah seorang muslimah yang menikahi salah seorang raja Majapahit
terakhir yang akhirnya berhasil dibujuknya untuk masuk Islam.
[1]
Kolam Segaran
Kolam Segaran adalah kolam besar berbentuk persegi panjang dengan ukuran 800 x 500 meter persegi. Nama 'Segaran' berasal dari bahasa Jawa
segara
yang berarti 'laut', mungkin masyarakat setempat mengibaratkan kolam
besar ini sebagai miniatur laut. Tembok dan tanggul bata merah
mengelilingi kolam yang sekaligus memberi bentuk pada kolam tersebut.
Saat ditemukan oleh
Henry Maclaine Pont
pada tahun 1926, struktur tanggul dan tembok bata merah tertimbun tanah
dan lumpur. Pemugaran dilakukan beberapa tahun kemudian dan kini kolam
Segaran difungsikan oleh masyarakat setempat sebagai tempat rekreasi dan
kolam pemancingan.
Fungsi asli kolam ini belum diketahui, akan tetapi penelitian
menunjukkan bahwa kolam ini memiliki beberapa fungsi, antar lain sebagai
kolam penampungan untuk memenuhi kebutuhan air bersih penduduk kota
Majapahit yang padat, terutama pada saat musim kemarau. Dugaan populer
lainnya adalah kolam ini digunakan sebagai tempat mandi dan kolam
latihan renang prajurit Majapahit, di samping itu kolam ini diduga
menjadi bagian taman hiburan tempat para bangsawan Majapahit menjamu
para duta dan tamu kerajaan.
Candi Menak Jingga
Di sudut timur laut kolam Segaran terdapat reruntuhan Candi Menak Jingga.
Bangunan ini kini hanya tersisa reruntuhannya berupa bebatuan yang
terpencar dan fondasi dasar bangunan yang masih terkubur di dalam tanah.
Pemugaran candi ini tengah berlangsung. Keunikan bangunan ini adalah
bangunan ini terbuat dari batu andesit pada lapisan luarnya, sedangkan
bagian dalamnya terbuat dari bata merah. Hal yang paling menarik dari
bangunan ini adalah pada bagian atapnya terdapat ukiran makhluk ajaib
yang diidentifikasi sebagai Qilin, makhluk ajaib dalam mitologi China. Temuan ini mengisyaratkan bahwa terdapat hubungan budaya yang cukup kuat antara Majapahit dengan Dinasti Ming di China. Tradisi setempat mengkaitkan reruntuhan ini dengan pendopo (paviliun) Ratu Kencana Wungu, ratu Majapahit dalam kisah Damarwulan dan Menak Jingga.
Situs Watu Umpak
Di
Situs Watu Umpak,
terdapat beberapa alas batu tempat mendirikan tiang kayu. Diperkirakan
merupakan bagian dari bangunan kayu. Karena terbuat dari bahan organik,
bangunan kayu telah musnah dan hanya menyisakan alas batu.
Makam Troloyo
Di
kompleks Makam Troloyo Desa
Sentonorejo
ditemukan beberapa batu nisan bercorak Islam. Kebanyakan batu nisan
tersebut berangka tahun 1350 dan 1478. Temuan ini membuktikan bahwa
komunitas
muslim
bukan hanya telah hadir di Jawa pada pertengahan abad ke-14, tapi juga
sebagai bukti bahwa agama Islam telah diakui dan dianut oleh sebagian
kecil penduduk ibu kota Majapahit. Penduduk setempat percaya bahwa di
makam Troloyo terdapat makam
Raden Wijaya. Setiap hari Jumat
Legi diadakan ziarah di makam ini.
[2]
SUMBER:http://id.wikipedia.org/wiki/Situs_Trowulan